Welcome

Selasa, 02 Maret 2010

Why Does Rion Has to Live?

Sekolah menengah tidak membuatku takut. Oh memang, bentangan koridor tak berujung dan ratusan ruang kelasnya membingungkan, tapi aku menghadapinya dengan penuh semangat memulai sebuah petualangan baru. Tahun pertamaku penuh kemunngkinan dan orang baru. Dengan kelas sebesar dua ribu siswa baru, aku tak mungkin salah. Jadi aku masih punya kepolosan seorang bocah yang disembunyikan di balik mascara da lipstick, berangkat untuk menemui mereka semua.
Dalam pelajaran Bahasa Spanyol 1, aku berkenalan dengan Rion. Menurut definisi murid-murid, ia tergolong aneh. Jins hitam, kaus Metallica yang sudah usang, rantai dompet, dan atribut lainnya. Tapi kepribadiannya yang unik dan masalah keluarganya membuatku tertarik kepadanya. Bukan naksir, tapi lebih bersifat rasa ingin tahu. Ia menyenangkan diajak bicara, dan jika sesi bisik-bisik kami di kelas terhenti, berjam-jam pembicaraan di telpon akan meneruskannya.
Pada salah satu pembicaraan malam kami, “itu”, istilah yang kami pakai untuk sebuah insiden, terbongkar. Kami sedang membicarakan tinggi spektakuler poni Bu Canaple yang berlebihan ketika aku mendengar ayah Rion berteriak di latar belakang.
“Tunggu sebentar,” gumam Rion sebelum aku sempat bertanya. Aku tahu ia sedang mencoba menutupi corong telepon, tapi gema teriakan-teriakan mengerikan di kamarnya masih terdengar. Lalu saluran telepon mati.
Dengan tubuh gemetar, aku mendengarkan nada datar telepon selama semenit sebelum perlahan meletakkan gagangnya, terlalu takut untuk menelepon kembali, takut mendengar sesuatu yang tidak ingin aku dengar. Aku besar dalam keluarga yang ideal: ibu dan ayah dan seorang kakak perempuan sebagai teladan. Situasi semacam itu mengejutkanku dan aku merasa bingung dan tak berdaya. Beberapa jam yang menegangkan kemudian, setelah ayahnya tidur, Rion meneleponku untuk minta maaf. Ia mengatakan ayahnya mendapat surat dari mantan istrinya, ibu Rion, yang berisi penolakan membayar tunjangan anak. Karena tidak ada kambing hitam yang lain, ia memasuki kamar Rion dengan penuh kemurkaan.
“Aku sudah tidak tahan lagi begini terus. Semua pertengkaran ini…terus terjadi…” Suaranya jadi pelan, hilang terbawa ingatannya yang menyakitkan. “Yang perlu kulakukan sekarang hanyalah menarik picu pistol, dan semuanya akan berakhir.”
“Jangan!” teriakku, “Jangan berbicara seperti itu! Kau tahu hidupmu sangat berharga.” Lalu aku mendengar tawa kecil yang dipaksakan.
“Yeah, benar.” Kata Rion memutuskan sambungan. Kami berjanji akan langsung tidur setelah ini.
Namun aku tidak bisa tidur. Aku begitu khawatir dan aku merasa hanya aku lah satu-satunya harapan Rion. Ia sudah berulang kembali mengatakan padaku bahwa sulit baginya untuk membuka diri kepada siapapun selain diriku. Bagaimana mungkin ada orang yang tidak ingin hidup? Aku bahkan bisa membuat daftar mengapa aku bahagia bisa bangun pagi hari. Dengan panic aku mencari cara meyakinkan Rion terhadap hal ini. lalu bola lampu di kepalaku menyala. Aku mengambil selembar kertas note dan member judul, “Mengapa Rion Harus Hidup?” Di bagian bawahnya, aku mulai mendaftarkan semua alasan alasan yang terpikir olehku tentang mngapa seseorang harus tetap hidup. Pada tengah malam, aku telah menuliskan lima puluh tujuh alasan mengapa Rion harus hidup. 10 terakhirnya adalah sebagai berikut:
(48) Tanah sedalam 2 meter cukup berat,
(49) Di kuburan tidak ada Metallica,
(50) Kawat gigi tidak bisa diuraikan di tanah,
(51) Tuhan mencintaimu,
(52) Percaya atau tidak, ayahmu mencintaimu,
(53) Pelajaran Bahasa Spanyol 1 akan sangat membosankan
(54) Tiga kata: Surat Izin Mengemudi
(55) Kau tidak akan suka bergaul dengan setan selamanya
(56) Bagaimana mungkin kamu bisa hidup tanpa Twinkies?
(57) Kau tidak pernah boleh menyesali siapa dirimu, kau hanya boleh menyesali apa dirimu sekarang
Yakin aku telah berusaha sebaik mungkin, aku naik ke ranjang untuk menunggu pelaksanaan tugas esok hari:menyelamatkan Rion.
Aku menunggunya di pintu ruang kelas Bahasa Spanyol keesokan harinya dan menyerahkan daftar itu saat ia berjalan masuk. Aku memperhatikannya dari sisi lain kelas saat ia membaca lembaran penuh bekas lipatan di pangkuannya. Aku menunggu, tapi ia tidak mengangkat mukanya selama 1 jam pelajaran. Setelah pelajaran selesai, aku mendekatinya, khawatir, tapi sebelum aku sempat berkata-kata, kedua lengannya sudah memelukku erat. Sesaat aku membalas pelukannya, air mata nyaris membutakanku. Ia melepaskanku, dan dengan tatapan lembut ke mataku, berjalan keluar kelas. Ia tidak perlu mengucapkan terimakasih, wajahnya sudah mengatakan semuanya.
Seminggu kemudian, Rion dipindahkan ke distrik sekolah lain supaya bisa tinggal dengan neneknya. Selama berminggu-minggu aku tak mendengar apa-apa, sampai suatu malam telepon bordering. “Sarah, ini kamu?” kudengar suara yang sudah aku kenal itu bertanya. Ah, rasanya kami tidak pernah berpisah satu hari pun. Aku memberinya masukan tentang potongan rambut terbaru Bu Canaple, dan ia mengatakan nilai-nilainya jauh lebih baik, dan ia masuk tim sepak bola. Ia bahkan ikut konseling dengan ayahnya supaya mereka bisa menjalin hubungan yang lebih kuat. “Tapi kau tahu apa yang paling hebat?” aku merasakan kebahagiaan sejati dalam suaranya, “Aku tidak meyesali siapa diriku, juga apa diriku sekarang.”
Sarah Barnet

Tidak ada komentar:

Posting Komentar